Akhir Persahabatan
Nindi terlihat
sangat bahagia setelah melihat kedua orang tuanya menyukai Iqra. Ia berjalan
mengantar Iqra diiringi senyum dibibirnya, terlihat seakan kebahagiaan menyelimuti
hatinya. Malam itu merupakan malam paling bahagia yang dirasakan oleh Nindi. Iqra
yang berjalan di sampingnya seketeika menatap ke arahnya yang sedari tadi
tersenyum sendiri.
“Kenapa kamu
senyum-senyum sendiri?” Tanya Iqra sambil menatap ke arah Nindi. “Seperti orang
kesurupan saja.”
“hahaha!!!
Sumpah aku senang bangat!” jawab Nindi. “Nggak nyangka orang tuaku sampai
sebegitu akrabnya sama kamu, kok bisa ya!! orang tuaku menyukaimu padahal
papaku galak bangat lho.”
“Maklumlah!!
Mana ada orang tua yang tidak mengizinkan anakanya, jalan sama orang ganteng
ditambah cerdas sepertiku” jawab Iqra dengan santai. Kamu harus bersyukur,
artinya orang tuamu masih waras.
Iqra berjalan
pergi menjauhi Nindi, “Aku pulang ya” diiringi tawa panjang.
“Awas kamu kalau
ketemu” ucap Nindi yang melihat Iqra sudah agak jauh darinya.
Iqra melambaikan
tangan tanpa menoleh pada Nindi dan diikuti teriakan Nindi “Kamu memang
gila!!!”.
“Hanya cewek
gila yang jatuh cinta sama pria gila” teriak Iqra dengan santai. Nindi terlihat
kesal, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahanya.
Malam itu Iqra
langsung pulang ke kamar kostnya tanpa mampir ke kamar sahabatnya. Hari berlalu
begitu cepat, Iqra dan Nindi sering bertemu bahkan hampir tiap hari mereka
jalan. Waktu Iqra di kampus menjadi sedikit sampai-sampai ia tidak pernah lagi
menyempatkan diri untuk nongkrong bersama sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya
bertemu Iqra hanya ketika jam kuliah tiba dan usai jam kuliah Iqra langsung
pulang. Kejanggalan ini sangat dirasakan oleh ketiga sahabanya. Suatu hari
ketiga sahabatnya mengunjungi Iqra di tempat tinggalnya yang cukup jauh dari
kampus mereka.
“Assalamualaikum!!
Terdengar suara Mhus sambil mengetuk pintu kamar Iqra.
“Waalaikum salam!”
Iqra menjawab salam sambil membuka pintu kamarnya, “Silakan masuk broo..
terlihat ketiga sahabat Iqra yang berdiri depan pintu kamar.
Ketiga sahabat Iqra
kemudian masuk, seketika terdiam membisu tanpa kata dan tatapan mereka mengarah
ke Iqra. Susana kamar menjadi hening, Iqra terlihat mengotak-atik handphone
yang digenggamnya seakan tak ada tamu yang harus di sambutnya.
“Iqra!!
akhir-akhir ini kamu terlihat aneh” kata Mhus memecah keheningan.
Iqra seakan tak
menghiraukan perkataan sahabatnya, lalu seketika ia meletakkan handphone yang
digenggamnya.
“Aneh gimana
broo”? tanya Iqra sambil menatap ke arah Mhus.
“Kamu kok nggak
pernah lagi ke kost aku, jawab Mhus. “Kamu bahkan nggak pernah lagi nongkrong
barang kami.”
Dirli dan Pandu masih
tetap diam, keduanya tidak mengatakan apa-apa hanya mendengarkan pembicaraan Mhus
dan Iqra.
“Udalah bro,
kalian kan bukan pacar aku” jawab Iqra santai. “Nggak harus nongkrong
terus-terusan kan? Kalian bisalah tanpa aku.”
“Sebegitu
rendahnya persahabatan yang selama ini kita jalin Iq...” tiba-tiba terdengar
suara Pandu sambil menatap ke arah Iqra. “Kita selalu jalanin semuanya bersama,
kami selalu ada buat kamu dan sekarang Mhus lagi patah hati, dia membutuhkan
kehadiran kita untuk menghiburnya.”
“Nggak perlu
manjalah broo”
Mhus yang
mendengar perkataan Iqra menjadi tak karuan, raut wajahnya memerah seketika
hingga ia bangkit dari tempat duduknya lalu mengayunkan kepalan tangannya
memukul Iqra. Iqra terjatuh seketika dan kembali bangkit, lalu ia membalas
pukulan Mhus. Perkelahian antara Iqra dan Mhus pun terjadi sampai kedua
sahabatnya memisahkan mereka.
“Aku nyesal udah
datang ke sini” Ucap Mhus sambil melangkah keluar meninggalkan Iqra.
Iqra tersenyum
santai, seolah tak ada yang terjadi sementara Dirli pergi begitu saja tanpa
mengatakan apa-apa.
“Aku nggak
nyangka kamu nggak pernah menganggap persahabatn kita, kesedihanmu menjadi
kesedihan kami juga, bahkan melihatmu gelisah kami ikut gelisah. Waktu kau
terbaring di rumah sakit, Mhus hanya tidur 2 jam dalam sehari, dia terus
menjagamu dan tiap saat air matanya jatuh, harapannya kamu kembali bangun” Ucap
Pandu sampai akhinya pergi meninggalkan Iqra.
Sejak hari itu
persahabatan mereka hancur layaknya ombak di lautan lepas yang menghempas
karang. Kehidupan mereka menjadi sangat berbeda dari sebelumnya, ketika mereka
bertepas-pasan hanya saling cuek seolah tak saling mengenal. Kehidupan yang
dulunya dihiasi dengan canda tawa kini diselimuti dengan kebencian. Mereka
kemudian memasuki semester delapan, penghujung akhir kuliah dimana mereka
disibukkan dengan tugas akhir.
Suatu ketika Iqra
duduk sendiri di kamar kostnya sambil mengotak-atik komputer yang ada di depannya,
tiba-tiba terdengar suara ketukkan pintu kamar. Ia terdiam sesaat, sampai
akhirnya bangkit mendekati pintu tersebut lalu terdiam dibelakang pintu seolah
bingung apa yang akan dilakukannya. Suara ketukkan pintu tiba-tiba terdengar
kembali olehnya, ia masih terdiam membisu lalu menatap seketika ke arah pintu
dan kemudian membuka pintu kamarnya secara perlahan.
“Hy!! seperti
biasa aku bawain kamu makan” terlihat Nindi diiringi senyum kecil.
“Aku baru saja
selesai makan” jawab Iqra lalu ia mempersilakan Nindi masuk.
Iqra melangkah
menuju komputernya yang masih aktif dan Nindi mengikutinya lulu duduk tepat di
samping Iqra. Iqra kembali mengotak-atik komputernya seakan ia sedang
menyelesaikan tugas kuliahnya. Keduanya terdiam tanpa kata, suasana ruangan
menjadi hening tanpa canda seperti hari-hari sebelumnya saat mereka bersama.
“Iqra! kamu kok
ngga seperti biasanya?” tiba-tiba suara Nindi terdengar dengan nada pelan.
“Nggak seperti
biasanya gimana?” jawab Iqra.
“Iya! Biasanya
kalau aku datang kamu kelihatan senang bangat, kamu bercerita banyak hal, kamu
buat aku tertawa. Sekarang, aku lihat kamu biasa saja!”
“Aku senang kok
kamu datang” jawab Iqra yang masih mengotak-atik komputernya.
“Aku pulang saja!
Malas aku lama-lama di sini” Nindi sambil berdiri lalu melangkah pergi.
Iqra tak
menghiraukan apa yang dilaukan pacarnya, ia tetap menyibukkan diri dengan
komputernya. Nindi terlihat berhenti lalu menoleh seketika ke arah Iqra seolah
mengharapkan ia di tahan oleh Iqra. Setelah itu Nindi pergi dengan raut wajah
kesal menahan marah. Iqra masih terus mengotak-atik komputernya, tak sadar lima
jam waktu berlalu. Iqra kemudian berhenti sesaat dan terpikir akan canda tawa
bersama sahabat-sahabanya telah hilang. Tak lama kemudian Iqra membaringkan
badannya dan mengingat kejadian yang baru dialaminya dengan Nindi. Sesaat
setelah itu ia tiba-tiba berdiri lalu melangkah keluar kamar dan membunyikan
motornya menuju rumah Nindi. Entah apa yang akan dilakukannya di sana.
Setibanya di
rumah Nindi, ia terdiam sesaat di depan pintu lalu tak lama kemudian ia
mengetuk pintu rumah Nindi sambil memberi salam. Tiba-tiba ada seorang lelaki
yang membukakan pintu untuknya.
“Maaf mengganggu
malam-malam” terdengar suara Iqra diiringi senyum, Nindinya ada om?”
“Iya ada” jawab
lelaki itu singkat.
Sesaat setelah
itu terdengar suara seorang perempuan dari dalam yang mempersilakan Iqra masuk.
“Iya! Makasih
tante” ucap Iqra sambil melangkah masuk rumah Nindi mengikuti langkah lelaki
dan perempuan yang menyambutnya tadi.
Lelaki tadi
kemudian duduk di kursi yang berada di ruang tamu sementara perempuan melangkah
masuk ke dalam. Iqra duduk bersama lelaki itu dan terdiam memandang sekeliling
ruangan.
“Nindi!
Terdengar suara perempuan yang tadi menyambutnya, “Nindi! ada Iqra di depan.”
“Iya ma!!
Sebentar, Nindi lagi mandi ni.
Tak lama
kemudian Nindi keluar kamar menghampiri Iqra yang sedang ngobrol bersama
ayahnya di ruang tamu.
“Om ke dalam
dulu ya! masih ada kerjaan” Ayah Nindi menatap ke arah Iqra sambil berdiri. “Kalian
ngbrolnya disekitaran sini saja, jangan jauh-jauh, udah malam” lalu melangkah
masuk ke dalam.
“Iya om! Jawab Iqra
singkat.
Setelah ayah Nindi
melangkah pergi, Iqra kembali terdiam dan Nindi menatap sesaat ke arah Iqra.
“Ada apa?” tanya
Nindi.
“Nggak
kenapa-kenapa, jawab Iqra singkat, “aku datang minta air putih, di kamarku kehabisan
air.”
Setelah
mendengar uacapan Iqra, Nindi membalikkan badannya dan melangkah masuk. Iqra
hanya terdiam melihat Nindi seolah menyesal dengan kata-kata yang di
ucapkannya. Sesaat setelah itu tiba-tiba Nindi menghampirinya dengan membawa
segelas air putih di tangannya diiringi dengan senyum di bibirnya.
“Hanya air putih
yang di butuhkan?” Terdengar suara Nindi yang menghampiri Iqra.
“Nggak!” Jawab Iqra,
“aku juga butuh kamu untuk menerima maafku” Iqra sambil menatap mata Nindi.
“hahahah!!
Alaynya kambu lagi.”
“Serius ni, aku
benaran minta maaf soal kejadian tadi” kata Iqra, “aku lupa kalau kegantenganku
takkan berarti tanpa hadirmu di sampingku.”
“hahahaha!!” Nindi
kembali tertawa, “udah alay.., kepedeannya over lagi.”
“Setidaknya, aku
punya dua kelebihan sekalikgus yang tidak di miliki oleh pria lain” jawab Iqra
dengan santai.
Nindi hanya
terdiam seolah tak dapat berkata apa-apa, Iqra yang menatap ke arahnya tertawa
kecil.
“Apa yang kau
tertawakan? Tanya Nindi.
“Ternyata kamu
tidak sepintar yang aku kira” jawab Iqra. “Sepertinya otak besarmu lebih kecil
daripada otak kecilku, hahahaha.” Terdengar tawa panjang Iqra.
“Nggak masalah
kok buat aku!” jawab Nindi, “Jujur!! aku senang bangat melihatmu tertawa
seperti itu. Udah lama aku nggak melihatmu tertawa panjang.” Nindi sambil melangkah
mendekati Iqra dan menatapnya.
“Apa yang akan
kau lakukan? Sejauh ini Aku masih menjaga kehormatanku.” Iqra sambil
memalingkan tatapan Nindi yang makin mendekat padanya.
“hahaha!! Gila
kamu ya!” Nindi memukul manja tubuh Iqra.
“Nin...!! boleh
nggak, kalau aku duduk dulu, capek berdiri terus.”
“hahaha, sorry
nggak mempersilakan duduk” jawab Nindi, “Silahkan duduk tuan” Nindi seolah
mengejek.
“Iya pembantu”
jawab Iqra santai dan Nindi kembali tertawa.
“Apa kamu
sebahagia itu jika bersamaku? Sampai-sampai kamu tak berhenti tertawa.”
“iya! Aku sangat
bahagia, sangat, sangat bahagia” jawab Nindi.
“Jika memang
begitu, besok kita ke pantai. Ajak Iqra, “hitung-hitung kita rekreasi”.
Belum selesai
ngomong, omongan Iqra dipotong oleh Nindi yang mengatakan “Iya aku mau bangat
ke pantai.”
*****
Akhir Bahagia
Keesokan harinya
Nindi dan Iqra rekreasi di sebuah pantai yang cukup jauh dari kota. Setibanya di
pantai mereka duduk berdua dibawa pepohonan menatap hempasan ombak yang saling
beraduh. Wajah keduanya memancarkan pesona kebahagiaan yang teramat dalam.
“Aku mau cerita
sama kamu” terdengar suara Nindi yang duduk di samping Iqra sambil menatap
laut.
“Cerita apa?” jawab
Iqra singkat.
“Seminggu yang
lalu aku ketemu teman kamu Rian, pas aku lagi belanja di mall”.
“Terus-serus” Iqra
seolah penasaran.
“Ternyata teman
kamu Rian baik juga, bayangin saja aku diantarin pulang sama dia.”
“Jadi nggak
kesal lagi ni ceritanya?” tanya Iqra
“Ya enggak,
cuman dia nungguin aku sampai selesai belanja, pas aku keluar mall tiba-tiba
dia menyabutku.”
“Jadi malas aku
dengarnya” jawab Iqra santai.
“Kamu cemburu
ya! Hahahaha... tanya Nindi diikuti tawa.
“Nggak lah!
Jangan bilang kamu jatuh cinta sama dia, mati kau kalau jatuh cinta sama dia”.
“hahahah... aku
hanya jatuh cinta sama pria gila kok” kata Nindi sambil menatap ke arah Iqra.
Iqra tersenyum
kecil lalu terdiam tanpa kata dan masih menatap laut bersama ombak yang
menghiasi.
“Sepertinya!
Mulai besok kita nggak akan ketemu de” terdengar suara Iqra.
“Memang ada apa?”
Tanya Nindi, ‘Kamu marah ya?”
“Iya marah
bangat!!” Jawab Iqra singkat lalu terdiam.
Nindi menunduk
mendengar kata-kata Iqra seolah menyesal telah mencertikan pertemuannya dengan Rian.
Iqra menatap seketika ke arah Nindi lalu tertawa panjang.
“Hahaha... sepertinya kamu sedih bangat nggak
ketemu aku” terdengar kembali suara Iqra. “Mulai besok aku penelitian di luar
kota, kurang lebih dua bulan sampai penyelesaian tugas akhir. Kemungikinan kita
nggak akan ketemu hingga empat bulan ke depan” Iqra menjelaskan.
Nindi tiba-tiba membangunkan kepalanya dan
tersenyum seketika.
“Kirain kamu
marah sama aku” kata Nindi. “Gara-gara
bertemu Rian.”
“Nggak
mungkinlah aku marah hanya karena bertemu Rian, apalagi nggak sengaja.”
“Kalau dengan sengaja
gimana?” tanya Nindi.
“Aku akan marah,
bahkan bapakmu yang galak saja akan ketakutan melihatku” jawab Iqra, “Aku akan
cabut jenggot dia satu persatu.”
Nindi tertawa
mendengar ejekkan yang diucapkan Iqra terhadap ayahnya sambil memukul Iqra.
“ni ada gelang
buat kamu” Nindi sambil memakaikan gelang di lengan Iqra, “Haraganya seribu
tapi maknanya lebih dari seribu, hahaha. Aku udah lama nyimpannya, biar kamu
nggak lupa sama aku, aku kasih gelang saja apalagi besok kamu akan pergi. Aku
punya dua, mirip kan?” Nindi sambil menunjukkan gelang yang ada di lengannya.
Iqra melihat
sesaat gelang yang dipakai Nindi lalu menganggukan kepalanya.
Tak lama setelah
keduanya bosan menikmati suasana pantai, keduanya langsung pulang. Di perjalanan
keduanya bercerita banyak hal, melepas kepergian Iqra di hari esok.
Iqra pulang ke
kamar kostnya setelah terlebih dahulu mengantar Nindi ke rumahnya. Tak terasa
cakrawala di ufuk timur menampakkan cahayanya diiringi kicauan burung.
Kenyataannya Iqra saat itu tidak meninggalkan kota tempat tinggalnya. Ia
melakukan penelitian di kampusnya, Iqra mengatakan kepada Nindi akan
meninggalkan kota untuk penelitian tugas akhir, agar ia bisa fokus
menyelesaikan tugas akhirnya tanpa kehadiran Nindi untuk sementara waktu. Ia
juga berpikir untuk memberikkan kejutan kepada pacarnya setelah tugas akhirnya
terselesaikan dan berencana melamarnya.
Setelah
kepergian Iqra sementara waktu dari kehidupan Nindi, keduanya hanya
berkomunikasih melalui telpon. Komunikasih mereka cukup jarang, karena
terkadang Iqra selalu mengabaikan panggilan masuk dihandphonenya.
Empat bulan
telah berlalu, Iqra telah menyelesaikan tugas akhirnya dan seminggu lagi acara
wisudah akan diikuti olehnya. Tibalah saatnya ia menemui Nindi, sesuai yang di
janjikan waktu terakhir kali bertemu. Saat Iqra bersiap-siap untuk menemui Nindi,
tiba-tiba handphonenya berdering.
“Halo...! jawab Iqra.
“Halo..! aku mau
ngomong sama kamu ni” terdengar suara Nindi deri seberang telpon.
“hahaha!
Kebetulan bangat, aku juga mau ngomong sama kamu” jawab Iqra. “Jodoh emang
nggak kemana ya. Kita ketemuannya diamana?” Tanya Iqra.
“Di tempat biasa
saja” jawab Nindi. “Aku tunggu di sana ya.”
Nindi kemudian
menutup telpon, waktu menunjukkan jam tuju malam. Iqra yang sedang bersiap-siap
merapikan pakainnya terlihat tersenyum-senyum sendiri di depan cermin seolah
kebahagiaan menyelimuti hatinya. Setelah selesai merapikan pakaiannya ia keluar
melangkah kamar dan menuju motor buntutnya lalu pergi menemui Nindi di tempat
mereka biasa bertemu.
“Lagi-lagi kamu
yang nungguin aku” kata Iqra yang menghampiri Nindi, Iqra kemudian duduk di samping Nindi.
“Kamu mau ngomong
apa?” Tanya Iqra sambil tersenyum dan menatap ke arah Nindi.
“Kamu duluan
yang ngomong” jawab Nindi singkat.
“Aku bingung mau
mulai darimana” Iqra diiringi tawa. “Aku udah nyelesaiin tugas akhirku dan
minggu depan perayaan wisudah. Aku senang bangat, sepertinya aku bisa
cepat-cepat melamar kamu” lanjut
Iqra.
Iqra terlihat
sangat bahagia sementara Nindi hanya terdiam tanpa kata mendengarakan omongan Iqra.
“Kamu mau
ngomong apa?”, “sepertinya penting bangat.” Tanya iqra.
Nindi terdiam
sesaat sampai akhiranya ia mengeluarkan kata-kata dengan perlahan.
“Iqra!! aku
hamil”
Iqra tiba-tiba
menunduk secara perlahan, tak sadar air matanya menetes. Ia seketika menghapus
air matanya dan membangunkan kepalanya diiringi senyum yang seolah terpaksa.
“Ayahnya, siapa
Nin...?” ucap Iqra perlahan seolah menahan tangis.
“Rian Iq...!!
teman kamu, ceritanya panjang” jawab Nindi dan menceritakan semuanya kepada Iqra.
Iqra hanya duduk
diam dan pandangannya mengarah ke bawah mendengarkan cerita Nindi.
“Aku minta maaf
Iq..!” terdengar suara Nindi diiringi linangan air mata.
Iqra masih belum
mengatakan apa-apa dan kemudian bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah
perlahan meninggalkan Nindi. Tak sadar air matanya jatuh dan menderai membasahi
pipinya. Ia melangkah pergi, sampai-sampai motor buntutnya ditinggalkan di
tempat itu. Tak lama kemudian ia duduk dan berteriak keras, seolah menyesal. Ia
menangis tersedu-sedu, air matanya tak henti berlinang.