Kamis, 12 Oktober 2017

Potongan cerita "Senyum dan Air mata cinta"



Akhir Persahabatan

Nindi terlihat sangat bahagia setelah melihat kedua orang tuanya menyukai Iqra. Ia berjalan mengantar Iqra diiringi senyum dibibirnya, terlihat seakan kebahagiaan menyelimuti hatinya. Malam itu merupakan malam paling bahagia yang dirasakan oleh Nindi. Iqra yang berjalan di sampingnya seketeika menatap ke arahnya yang sedari tadi tersenyum sendiri.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Tanya Iqra sambil menatap ke arah Nindi. “Seperti orang kesurupan saja.”
“hahaha!!! Sumpah aku senang bangat!” jawab Nindi. “Nggak nyangka orang tuaku sampai sebegitu akrabnya sama kamu, kok bisa ya!! orang tuaku menyukaimu padahal papaku galak bangat lho.”
“Maklumlah!! Mana ada orang tua yang tidak mengizinkan anakanya, jalan sama orang ganteng ditambah cerdas sepertiku” jawab Iqra dengan santai. Kamu harus bersyukur, artinya orang tuamu masih waras.
Iqra berjalan pergi menjauhi Nindi, “Aku pulang ya” diiringi tawa panjang.
“Awas kamu kalau ketemu” ucap Nindi yang melihat Iqra sudah agak jauh darinya.
Iqra melambaikan tangan tanpa menoleh pada Nindi dan diikuti teriakan Nindi “Kamu memang gila!!!”.
“Hanya cewek gila yang jatuh cinta sama pria gila” teriak Iqra dengan santai. Nindi terlihat kesal, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahanya. 
Malam itu Iqra langsung pulang ke kamar kostnya tanpa mampir ke kamar sahabatnya. Hari berlalu begitu cepat, Iqra dan Nindi sering bertemu bahkan hampir tiap hari mereka jalan. Waktu Iqra di kampus menjadi sedikit sampai-sampai ia tidak pernah lagi menyempatkan diri untuk nongkrong bersama sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya bertemu Iqra hanya ketika jam kuliah tiba dan usai jam kuliah Iqra langsung pulang. Kejanggalan ini sangat dirasakan oleh ketiga sahabanya. Suatu hari ketiga sahabatnya mengunjungi Iqra di tempat tinggalnya yang cukup jauh dari kampus mereka.
“Assalamualaikum!! Terdengar suara Mhus sambil mengetuk pintu kamar Iqra.
“Waalaikum salam!” Iqra menjawab salam sambil membuka pintu kamarnya, “Silakan masuk broo.. terlihat ketiga sahabat Iqra yang berdiri depan pintu kamar.
Ketiga sahabat Iqra kemudian masuk, seketika terdiam membisu tanpa kata dan tatapan mereka mengarah ke Iqra. Susana kamar menjadi hening, Iqra terlihat mengotak-atik handphone yang digenggamnya seakan tak ada tamu yang harus di sambutnya.
“Iqra!! akhir-akhir ini kamu terlihat aneh” kata Mhus memecah keheningan.
Iqra seakan tak menghiraukan perkataan sahabatnya, lalu seketika ia meletakkan handphone yang digenggamnya.
“Aneh gimana broo”? tanya Iqra sambil menatap ke arah Mhus.
“Kamu kok nggak pernah lagi ke kost aku, jawab Mhus. “Kamu bahkan nggak pernah lagi nongkrong barang kami.”
Dirli dan Pandu masih tetap diam, keduanya tidak mengatakan apa-apa hanya mendengarkan pembicaraan Mhus dan Iqra.
“Udalah bro, kalian kan bukan pacar aku” jawab Iqra santai. “Nggak harus nongkrong terus-terusan kan? Kalian bisalah tanpa aku.”
“Sebegitu rendahnya persahabatan yang selama ini kita jalin Iq...” tiba-tiba terdengar suara Pandu sambil menatap ke arah Iqra. “Kita selalu jalanin semuanya bersama, kami selalu ada buat kamu dan sekarang Mhus lagi patah hati, dia membutuhkan kehadiran kita untuk menghiburnya.”
“Nggak perlu manjalah broo”
Mhus yang mendengar perkataan Iqra menjadi tak karuan, raut wajahnya memerah seketika hingga ia bangkit dari tempat duduknya lalu mengayunkan kepalan tangannya memukul Iqra. Iqra terjatuh seketika dan kembali bangkit, lalu ia membalas pukulan Mhus. Perkelahian antara Iqra dan Mhus pun terjadi sampai kedua sahabatnya memisahkan mereka.
“Aku nyesal udah datang ke sini” Ucap Mhus sambil melangkah keluar meninggalkan Iqra.
Iqra tersenyum santai, seolah tak ada yang terjadi sementara Dirli pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.
“Aku nggak nyangka kamu nggak pernah menganggap persahabatn kita, kesedihanmu menjadi kesedihan kami juga, bahkan melihatmu gelisah kami ikut gelisah. Waktu kau terbaring di rumah sakit, Mhus hanya tidur 2 jam dalam sehari, dia terus menjagamu dan tiap saat air matanya jatuh, harapannya kamu kembali bangun” Ucap Pandu sampai akhinya pergi meninggalkan Iqra.
Sejak hari itu persahabatan mereka hancur layaknya ombak di lautan lepas yang menghempas karang. Kehidupan mereka menjadi sangat berbeda dari sebelumnya, ketika mereka bertepas-pasan hanya saling cuek seolah tak saling mengenal. Kehidupan yang dulunya dihiasi dengan canda tawa kini diselimuti dengan kebencian. Mereka kemudian memasuki semester delapan, penghujung akhir kuliah dimana mereka disibukkan dengan tugas akhir.
Suatu ketika Iqra duduk sendiri di kamar kostnya sambil mengotak-atik komputer yang ada di depannya, tiba-tiba terdengar suara ketukkan pintu kamar. Ia terdiam sesaat, sampai akhirnya bangkit mendekati pintu tersebut lalu terdiam dibelakang pintu seolah bingung apa yang akan dilakukannya. Suara ketukkan pintu tiba-tiba terdengar kembali olehnya, ia masih terdiam membisu lalu menatap seketika ke arah pintu dan kemudian membuka pintu kamarnya secara perlahan.
“Hy!! seperti biasa aku bawain kamu makan” terlihat Nindi diiringi senyum kecil.
“Aku baru saja selesai makan” jawab Iqra lalu ia mempersilakan Nindi masuk.
Iqra melangkah menuju komputernya yang masih aktif dan Nindi mengikutinya lulu duduk tepat di samping Iqra. Iqra kembali mengotak-atik komputernya seakan ia sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Keduanya terdiam tanpa kata, suasana ruangan menjadi hening tanpa canda seperti hari-hari sebelumnya saat mereka bersama.
“Iqra! kamu kok ngga seperti biasanya?” tiba-tiba suara Nindi terdengar dengan nada pelan.
“Nggak seperti biasanya gimana?” jawab Iqra.
“Iya! Biasanya kalau aku datang kamu kelihatan senang bangat, kamu bercerita banyak hal, kamu buat aku tertawa. Sekarang, aku lihat kamu biasa saja!”
“Aku senang kok kamu datang” jawab Iqra yang masih mengotak-atik komputernya.
“Aku pulang saja! Malas aku lama-lama di sini” Nindi sambil berdiri lalu melangkah pergi.
Iqra tak menghiraukan apa yang dilaukan pacarnya, ia tetap menyibukkan diri dengan komputernya. Nindi terlihat berhenti lalu menoleh seketika ke arah Iqra seolah mengharapkan ia di tahan oleh Iqra. Setelah itu Nindi pergi dengan raut wajah kesal menahan marah. Iqra masih terus mengotak-atik komputernya, tak sadar lima jam waktu berlalu. Iqra kemudian berhenti sesaat dan terpikir akan canda tawa bersama sahabat-sahabanya telah hilang. Tak lama kemudian Iqra membaringkan badannya dan mengingat kejadian yang baru dialaminya dengan Nindi. Sesaat setelah itu ia tiba-tiba berdiri lalu melangkah keluar kamar dan membunyikan motornya menuju rumah Nindi. Entah apa yang akan dilakukannya di sana.
Setibanya di rumah Nindi, ia terdiam sesaat di depan pintu lalu tak lama kemudian ia mengetuk pintu rumah Nindi sambil memberi salam. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang membukakan pintu untuknya.
“Maaf mengganggu malam-malam” terdengar suara Iqra diiringi senyum, Nindinya ada om?”
“Iya ada” jawab lelaki itu singkat.
Sesaat setelah itu terdengar suara seorang perempuan dari dalam yang mempersilakan Iqra masuk.
“Iya! Makasih tante” ucap Iqra sambil melangkah masuk rumah Nindi mengikuti langkah lelaki dan perempuan yang menyambutnya tadi.
Lelaki tadi kemudian duduk di kursi yang berada di ruang tamu sementara perempuan melangkah masuk ke dalam. Iqra duduk bersama lelaki itu dan terdiam memandang sekeliling ruangan.
“Nindi! Terdengar suara perempuan yang tadi menyambutnya, “Nindi! ada Iqra di depan.”
“Iya ma!! Sebentar, Nindi lagi mandi ni.
Tak lama kemudian Nindi keluar kamar menghampiri Iqra yang sedang ngobrol bersama ayahnya di ruang tamu.
“Om ke dalam dulu ya! masih ada kerjaan” Ayah Nindi menatap ke arah Iqra sambil berdiri. “Kalian ngbrolnya disekitaran sini saja, jangan jauh-jauh, udah malam” lalu melangkah masuk ke dalam.
“Iya om! Jawab Iqra singkat.
Setelah ayah Nindi melangkah pergi, Iqra kembali terdiam dan Nindi menatap sesaat ke arah Iqra.
“Ada apa?” tanya Nindi.
“Nggak kenapa-kenapa, jawab Iqra singkat, “aku datang minta air putih, di kamarku kehabisan air.”
Setelah mendengar uacapan Iqra, Nindi membalikkan badannya dan melangkah masuk. Iqra hanya terdiam melihat Nindi seolah menyesal dengan kata-kata yang di ucapkannya. Sesaat setelah itu tiba-tiba Nindi menghampirinya dengan membawa segelas air putih di tangannya diiringi dengan senyum di bibirnya.
“Hanya air putih yang di butuhkan?” Terdengar suara Nindi yang menghampiri Iqra.
“Nggak!” Jawab Iqra, “aku juga butuh kamu untuk menerima maafku” Iqra sambil menatap mata Nindi.
“hahahah!! Alaynya kambu lagi.”
“Serius ni, aku benaran minta maaf soal kejadian tadi” kata Iqra, “aku lupa kalau kegantenganku takkan berarti tanpa hadirmu di sampingku.”
“hahahaha!!” Nindi kembali tertawa, “udah alay.., kepedeannya over lagi.”
“Setidaknya, aku punya dua kelebihan sekalikgus yang tidak di miliki oleh pria lain” jawab Iqra dengan santai.
Nindi hanya terdiam seolah tak dapat berkata apa-apa, Iqra yang menatap ke arahnya tertawa kecil.
“Apa yang kau tertawakan? Tanya Nindi.
“Ternyata kamu tidak sepintar yang aku kira” jawab Iqra. “Sepertinya otak besarmu lebih kecil daripada otak kecilku, hahahaha.” Terdengar tawa panjang Iqra.
“Nggak masalah kok buat aku!” jawab Nindi, “Jujur!! aku senang bangat melihatmu tertawa seperti itu. Udah lama aku nggak melihatmu tertawa panjang.” Nindi sambil melangkah mendekati Iqra dan menatapnya.
“Apa yang akan kau lakukan? Sejauh ini Aku masih menjaga kehormatanku.” Iqra sambil memalingkan tatapan Nindi yang makin mendekat padanya.
“hahaha!! Gila kamu ya!” Nindi memukul manja tubuh Iqra.
“Nin...!! boleh nggak, kalau aku duduk dulu, capek berdiri terus.”
“hahaha, sorry nggak mempersilakan duduk” jawab Nindi, “Silahkan duduk tuan” Nindi seolah mengejek.
“Iya pembantu” jawab Iqra santai dan Nindi kembali tertawa.
“Apa kamu sebahagia itu jika bersamaku? Sampai-sampai kamu tak berhenti tertawa.”
“iya! Aku sangat bahagia, sangat, sangat bahagia” jawab Nindi.
“Jika memang begitu, besok kita ke pantai. Ajak Iqra, “hitung-hitung kita rekreasi”.
Belum selesai ngomong, omongan Iqra dipotong oleh Nindi yang mengatakan “Iya aku mau bangat ke pantai.”

*****




Akhir Bahagia

Keesokan harinya Nindi dan Iqra rekreasi di sebuah pantai yang cukup jauh dari kota. Setibanya di pantai mereka duduk berdua dibawa pepohonan menatap hempasan ombak yang saling beraduh. Wajah keduanya memancarkan pesona kebahagiaan yang teramat dalam.
“Aku mau cerita sama kamu” terdengar suara Nindi yang duduk di samping Iqra sambil menatap laut.
“Cerita apa?” jawab Iqra singkat.
“Seminggu yang lalu aku ketemu teman kamu Rian, pas aku lagi belanja di mall”.
“Terus-serus” Iqra seolah penasaran.
“Ternyata teman kamu Rian baik juga, bayangin saja aku diantarin pulang sama dia.”
“Jadi nggak kesal lagi ni ceritanya?” tanya Iqra
“Ya enggak, cuman dia nungguin aku sampai selesai belanja, pas aku keluar mall tiba-tiba dia menyabutku.”
“Jadi malas aku dengarnya” jawab Iqra santai.
“Kamu cemburu ya! Hahahaha... tanya Nindi diikuti tawa.
“Nggak lah! Jangan bilang kamu jatuh cinta sama dia, mati kau kalau jatuh cinta sama dia”.
“hahahah... aku hanya jatuh cinta sama pria gila kok” kata Nindi sambil menatap ke arah Iqra.
Iqra tersenyum kecil lalu terdiam tanpa kata dan masih menatap laut bersama ombak yang menghiasi.
“Sepertinya! Mulai besok kita nggak akan ketemu de” terdengar suara Iqra.
“Memang ada apa?” Tanya Nindi, ‘Kamu marah ya?”
“Iya marah bangat!!” Jawab Iqra singkat lalu terdiam.
Nindi menunduk mendengar kata-kata Iqra seolah menyesal telah mencertikan pertemuannya dengan Rian. Iqra menatap seketika ke arah Nindi lalu tertawa panjang.
 “Hahaha... sepertinya kamu sedih bangat nggak ketemu aku” terdengar kembali suara Iqra. “Mulai besok aku penelitian di luar kota, kurang lebih dua bulan sampai penyelesaian tugas akhir. Kemungikinan kita nggak akan ketemu hingga empat bulan ke depan” Iqra menjelaskan.
 Nindi tiba-tiba membangunkan kepalanya dan tersenyum seketika.
“Kirain kamu marah sama aku”  kata Nindi. “Gara-gara bertemu Rian.”
“Nggak mungkinlah aku marah hanya karena bertemu Rian, apalagi nggak sengaja.”
“Kalau dengan sengaja gimana?” tanya Nindi.
“Aku akan marah, bahkan bapakmu yang galak saja akan ketakutan melihatku” jawab Iqra, “Aku akan cabut jenggot dia satu persatu.”
Nindi tertawa mendengar ejekkan yang diucapkan Iqra terhadap ayahnya sambil memukul Iqra.
“ni ada gelang buat kamu” Nindi sambil memakaikan gelang di lengan Iqra, “Haraganya seribu tapi maknanya lebih dari seribu, hahaha. Aku udah lama nyimpannya, biar kamu nggak lupa sama aku, aku kasih gelang saja apalagi besok kamu akan pergi. Aku punya dua, mirip kan?” Nindi sambil menunjukkan gelang yang ada di lengannya.
Iqra melihat sesaat gelang yang dipakai Nindi lalu menganggukan kepalanya.
Tak lama setelah keduanya bosan menikmati suasana pantai, keduanya langsung pulang. Di perjalanan keduanya bercerita banyak hal, melepas kepergian Iqra di hari esok.
Iqra pulang ke kamar kostnya setelah terlebih dahulu mengantar Nindi ke rumahnya. Tak terasa cakrawala di ufuk timur menampakkan cahayanya diiringi kicauan burung. Kenyataannya Iqra saat itu tidak meninggalkan kota tempat tinggalnya. Ia melakukan penelitian di kampusnya, Iqra mengatakan kepada Nindi akan meninggalkan kota untuk penelitian tugas akhir, agar ia bisa fokus menyelesaikan tugas akhirnya tanpa kehadiran Nindi untuk sementara waktu. Ia juga berpikir untuk memberikkan kejutan kepada pacarnya setelah tugas akhirnya terselesaikan dan berencana melamarnya.
Setelah kepergian Iqra sementara waktu dari kehidupan Nindi, keduanya hanya berkomunikasih melalui telpon. Komunikasih mereka cukup jarang, karena terkadang Iqra selalu mengabaikan panggilan masuk dihandphonenya.
Empat bulan telah berlalu, Iqra telah menyelesaikan tugas akhirnya dan seminggu lagi acara wisudah akan diikuti olehnya. Tibalah saatnya ia menemui Nindi, sesuai yang di janjikan waktu terakhir kali bertemu. Saat Iqra bersiap-siap untuk menemui Nindi, tiba-tiba handphonenya berdering.
“Halo...! jawab Iqra.
“Halo..! aku mau ngomong sama kamu ni” terdengar suara Nindi deri seberang telpon.
“hahaha! Kebetulan bangat, aku juga mau ngomong sama kamu” jawab Iqra. “Jodoh emang nggak kemana ya. Kita ketemuannya diamana?” Tanya Iqra.
“Di tempat biasa saja” jawab Nindi. “Aku tunggu di sana ya.”
Nindi kemudian menutup telpon, waktu menunjukkan jam tuju malam. Iqra yang sedang bersiap-siap merapikan pakainnya terlihat tersenyum-senyum sendiri di depan cermin seolah kebahagiaan menyelimuti hatinya. Setelah selesai merapikan pakaiannya ia keluar melangkah kamar dan menuju motor buntutnya lalu pergi menemui Nindi di tempat mereka biasa bertemu.
“Lagi-lagi kamu yang nungguin aku” kata Iqra yang menghampiri Nindi, Iqra kemudian duduk di samping Nindi.
“Kamu mau ngomong apa?” Tanya Iqra sambil tersenyum dan menatap ke arah Nindi.
“Kamu duluan yang ngomong” jawab Nindi singkat.
“Aku bingung mau mulai darimana” Iqra diiringi tawa. “Aku udah nyelesaiin tugas akhirku dan minggu depan perayaan wisudah. Aku senang bangat, sepertinya aku bisa cepat-cepat melamar kamu” lanjut Iqra.
Iqra terlihat sangat bahagia sementara Nindi hanya terdiam tanpa kata mendengarakan omongan Iqra.
“Kamu mau ngomong apa?”, “sepertinya penting bangat.” Tanya iqra.
Nindi terdiam sesaat sampai akhiranya ia mengeluarkan kata-kata dengan perlahan.
“Iqra!! aku hamil”
Iqra tiba-tiba menunduk secara perlahan, tak sadar air matanya menetes. Ia seketika menghapus air matanya dan membangunkan kepalanya diiringi senyum yang seolah terpaksa.
“Ayahnya, siapa Nin...?” ucap Iqra perlahan seolah menahan tangis.
“Rian Iq...!! teman kamu, ceritanya panjang” jawab Nindi dan menceritakan semuanya kepada Iqra.
Iqra hanya duduk diam dan pandangannya mengarah ke bawah mendengarkan cerita Nindi.
“Aku minta maaf Iq..!” terdengar suara Nindi diiringi linangan air mata.
Iqra masih belum mengatakan apa-apa dan kemudian bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah perlahan meninggalkan Nindi. Tak sadar air matanya jatuh dan menderai membasahi pipinya. Ia melangkah pergi, sampai-sampai motor buntutnya ditinggalkan di tempat itu. Tak lama kemudian ia duduk dan berteriak keras, seolah menyesal. Ia menangis tersedu-sedu, air matanya tak henti berlinang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar